Pemandangan yang hampir pasti kita saksikan pada setiap bulan Ramadhan berupa sambutan kaum muslimin terhadapnya dengan berbagai kegiatan dan amalan, senantiasa mengiringi kegembiraan dan kebahagiaan mereka pada bulan mulia ini. Memang, bulan mulia yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan ini benar-benar patut untuk disyukuri.
Ya! Kita harus bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya kepada kita pada bulan mulia ini. Bersyukur kepada-Nya dengan berusaha memperbagus dan memperbanyak amal ibadah yang disyariatkan untuk dilakukan pada bulan ini.
Bulan Ramadhan senantiasa berulang pada setiap tahun. Kaum muslimin pun telah terbiasa dengan rutinitas amalan yang mereka lakukan padanya. Mulai dari amalan ibadah puasa, shalat Tarawih, memberi makan buka, membaca Al-Quran, dan lain sebagainya.
Namun sayang, rutinitas yang telah mereka “hafal” ini tidak sedikit darinya yang kurang bernilai ibadah. Atau, jikapun rutinitas itu bernilai ibadah, masih saja ada “kotoran-kotoran” yang merusak ketinggian nilai ibadah. Hal ini tidak jarang disebabkan karena banyak di antara kaum muslimin yang meremehkan hal-hal penting yang harus diperhatikan pada bulan Ramadhan.
Di antara hal-hal penting yang harus diperhatikan itu:
1- Mengilmui ibadah di bulan Ramadhan.
Ilmu adalah pintu kebaikan. Siapa pun yang menghendaki kebaikan, dia harus memulai dengan ilmu. Maka seorang muslim yang ingin meraih kebaikan bulan Ramadhan, pastilah dia harus mengilmui ibadah yang dilakukan di bulan ini. Mengilmui tentang puasa, tentang tata cara shalat Tarawih, tentang membaca Al-Quran, i’tikaf, zakat dan ibadah-ibadah lainnya.
Sangat disayangkan banyak kaum muslimin yang meremehkan hal ini. Padahal, jika mereka melakukan ibadah tanpa ilmu, bisa jadi ibadah yang mereka lakukan akan menjadi sia-sia, tidak diterima oleh Allah —ta’ala –. Akhirnya, kita pun banyak melihat bermunculan berbagai perkara ibadah yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya — shollallohu ‘alaihi wa sallam — di bulan mulia ini. Sehingga apa yang mereka harapkan menjadi kebaikan, berbalik menjadi kerugian semata. Semoga Allah melindungi kita dari hal ini.
2- Niat ikhlas dalam puasa.
Puasa adalah ibadah yang sangat agung di bulan suci ini. Sampai-sampai Allah pun mengkhususkan ibadah ini hanya untuk-Nya. Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — bersabda,
قَالَ اللهُ عز وجل كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَام ، فَإنَّهُ لِي وَأنَا أجْزِي بِهِ
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, semua amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu ibadah, selain harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Sehingga jika kita ingin puasa kita diterima, pertama kita harus mengikhlaskan puasa kita hanya karena Allah, bukan karena ikut-ikutan rutinitas manusia atau karena niat yang lain. Selain itu, puasa kita harus sesuai dengan tuntunan atau tata cara puasa Rasulullah —shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Dan ini, tentu menuntut kita untuk memperhatikan poin pertama yang kami sampaikan di atas, yaitu ilmu.
Sekadar mengingatkan, bahwa yang dimaksud dengan niat adalah kehendak dalam hati untuk melakukan sesuatu amalan. Sehingga dalam tuntunan Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam –, niat untuk ibadah tidak perlu diucapkan dengan lisan, termasuk di antaranya niat untuk berpuasa.
3- Yang wajib lebih utama dari yang sunah.
Semangat yang menggebu terkadang menjadikan seseorang lalai dengan skala prioritas yang harusnya diperhatikan. Inilah yang sering kita saksikan pada bulan ini. Kaum muslimin terkadang lebih memerhatikan yang sunah dengan melalaikan yang wajib. Padahal seharusnya yang wajib harus lebih diperhatikan dari yang sunah, sedangkan yang sunah diusahakan tidak ditinggalkan.
Sebagai contoh, kita lihat kaum muslimin berbondong-bondong shalat Tarawih berjamaah ke masjid sampai membuat masjid tak muat, padahal shalat Tarawih tidak termasuk dalam shalat wajib. Namun sayang, mereka lupa atau lalai shalat berjamaah di masjid untuk lima shalat waktu yang notabene adalah shalat wajib.
Akan lebih parah lagi, jika ada seorang muslim yang lebih memerhatikan hal yang mubah-mubah saja dari pada hal yang wajib. Atau bahkan lebih parah dari itu, memerhatikan hal yang makruh atau haram dengan melalaikan yang wajib. Na’udzu billah min dzalik.
4- Mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka.
Yang ini, nampaknya banyak dianggap remeh oleh sebagian kaum muslimin. Di antara mereka ada yang makan sahur jauh sebelum waktu sahar (akhir waktu malam menjelang terbit fajar). Bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak makan sahur. Lalu ketika berbuka pun di antara mereka ada yang mengakhirkannya sampai menjelang Isya. Semacam ini tentu saja bertentangan dengan tuntunan Nabi —shollallohu ‘alaihi wa sallam –.
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — bersabda, “Makan sahurlah, karena ada berkah dalam makan sahur.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan disebutkan pula dalam hadits Muttafaq ‘alaih (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) bahwa antara makan sahur Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dengan adzan shubuh berselang sekitar bacaan 50 ayat al-Quran.
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — juga bersabda, “Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul kitab adalah makan sahur.” (Riwayat Muslim)
Dan disebutkan pula dalam hadits Muttafaq ‘alaih (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) bahwa antara makan sahur Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — dengan adzan shubuh berselang sekitar bacaan 50 ayat al-Quran.
Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — juga bersabda, “Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul kitab adalah makan sahur.” (Riwayat Muslim)
Adapun tentang menyegerakan berbuka, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka masih menyegerakan berbuka.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan yang dimaksud menyegerakan berbuka di sini, segera berbuka setelah terbenam matahari. Karena jika seseorang menyengaja berbuka sebelum terbenam matahari padahal dia tahu, maka puasanya tidak sah alias batal.
Dan yang dimaksud menyegerakan berbuka di sini, segera berbuka setelah terbenam matahari. Karena jika seseorang menyengaja berbuka sebelum terbenam matahari padahal dia tahu, maka puasanya tidak sah alias batal.
5- Mulianya waktu.
Keagungan waktu dan urgensi memerhatikannya, sudah tidak kita ragukan lagi. Sampai-sampai ada yang mengatakan, “waktu bagaikan pedang, jika tidak kau patahkan dia yang akan menebasmu.” Maksudnya, jika waktu ini tidak kita manfaatkan untuk hal-hal yang baik, niscaya dia bisa menjadi bumerang yang mencelakakan kita.
Nah, di bulan mulia ini, kemuliaan waktu menjadi jauh lebih mulia dari biasanya. Namun sekali lagi sayang, banyak kaum muslimin yang lalai akan hal ini. Mereka menghabiskan waktunya di bulan Ramadhan untuk perkara kesenangan jiwa belaka. Dengan bercanda ria, berjalan-jalan, tidur, ngobrol, begadang, dan seterusnya. Padahal jika mereka mau memanfaatkannya untuk ibadah seperti membaca Al-Quran, berdzikir atau yang lain, maka sesungguhnya di bulan ini amal ibadah kita dilipatgandakan pahalanya.
6- Ramadhan bulan doa.
Di antara rahasia yang sering dilalaikan, bahwa Ramadhan adalah bulan doa. Dalam surat al-Baqarah ayat 186, Allah menyebutkan sebuah keterangan tentang doa. Bahwa Allah dekat dengan hamba-Nya, dan Dia mengabulkan doa orang yang berdoa kepada-Nya. Jika diperhatikan, ayat ini Allah sampaikan di tengah-tengah ayat tentang puasa. Hal ini menunjukkan –sebagaimana dijelaskan para ulama – bahwa Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk berdoa.
Terlebih lagi Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — telah bersabda, “Tiga doa yang tidak akan ditolak; doa seorang tua untuk anaknya, doa orang yang berpuasa, doa orang yang bersafar.”(Dihasankan al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3032)
7- Antara hemat dan sedekah.
Di antara keistimewaan amalan Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – di bulan Ramadhan, beliau –shollallohu ‘alaihi wa sallam – lebih banyak bersedekah dibandingkan bulan-bulan lainnya. Padahal beliau adalah orang yang paling dermawan di bulan-bulan yang lain. Nah, tentunya ini menjadi dorongan bagi kita sebagai umat beliau — shollallohu ‘alaihi wa sallam –, untuk lebih banyak bersedekah di bulan Ramadhan.
Anjuran untuk bersedekah ini tentu menuntut kita untuk lebih berhemat dalam menggunakan harta untuk keperluan duniawi. Inilah hal yang mungkin banyak dilalaikan. Yang sering terjadi malah sebaliknya, pengeluaran untuk urusan duniawi; untuk membeli makanan sahur dan buka, dan juga untuk membeli perlengkapan menyambut lebaran, lebih diperhatikan dari pada pengeluaran untuk sedekah.
8- Keagungan malam-malam terakhir.
Ada fenomena yang perlu dikoreksi. di awal-awal Ramadhan mereka bersemangat melaksanakan ibadah seperti shalat Tarawih, membaca Al-Quran dan sebagainya. Namun semakin mendekati akhir Ramadhan, mereka mulai “lemas” dalam ibadah. Masjid-masjid yang tadinya penuh dengan jamaah, kini tinggal dua atau tiga shaf saja. Padahal Allah lebih mengagungkan malam-malam terakhir Ramadhan dibandingkan sebelumnya. Dan Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — pun bertambah giat dalam beribadah jika telah memasuki sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.
9- I’tikaf.
Di antara sunnah (ajaran) Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — yang banyak dilalaikan oleh kaum muslimin adalah i’tikaf. Berdiam di masjid dan tidak keluar darinya, dalam rangka mengkhususkan diri untuk ibadah kepada Allah — ta’ala –. Ibadah ini merupakan kebiasaan yang dilakukan Nabi — shollallohu ‘alaihi wa sallam — pada 10 hari terakhir Ramadhan. Ibadah yang mulia ini sering tidak bisa dilakukan oleh kaum muslimin, karena mereka sibuk dengan persiapan menyambut hari raya. Seolah-olah, mereka sangat gembira dengan hampir selesainya bulan Ramadhan. Padahal para pendahulu kita yang shalih, merasa sedih ketika harus berpisah dengan bulan mulia ini. Lalu di manakah posisi kita dibandingkan mereka?
10- Jangan lupakan tujuan puasa.
Kita semua tentu tahu tujuan agung ibadah puasa. Namun, apakah kita sadar ketika Ramadhan telah berlalu, sudahkan kita mencapai tujuan itu? Ketakwaan, sebagai tujuan dari ibadah puasa, tidak hanya dituntut pada bulan Ramadhan saja. Bahkan ketakwaan harus senantiasa diusahakan mengiringi kita di mana pun dan kapan pun. Rasulullah — shollallohu ‘alaihi wa sallam — bersabda, “Bertakwalah kamu di mana atau kapan pun kamu berada.” (Riwayat at-Tirmidzi)
Semoga, Ramadhan kali ini benar-benar menjadikan kita orang yang bertakwa di mana pun dan kapan pun kita berada, sampai Allah mewafatkan kita. Wallahul muwaffiq.
Sumber: majalahsakinah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar